15 June 2010

Warna-Warni Hukuman Mati yang Pernah Terjadi di Nusantara

Suatu pagi habis subuh (sekitar pukul 06.00), empat laki-laki dengan kepala diikat kain putih digiring ke sebuah halaman. Mereka adalah terpidana mati yang akan segera menjalani eksekusi di sebuah lokasi di Bali pada zaman kolonial (tahun 1800-an). Empat laki-laki yang berasal dari kasta sudra itu dipidana mati karena melakukan pembunuhan berencana (walad pati).

Mereka digiring ke lokasi eksekusi dengan dikawal Jaksa, Punggawa, dan Pedanda. Sesampai di bawah pohon beringin, terpidana pertama berdiri. Kedua belah tangannya dibentangkan paksa oleh dua pengawal. Di depannya, seorang algojo sudah bersiap dengan sebilah keris terhunus.

Tiba-tiba, algojo melancarkan serangannya, menusuk dada terpidana dengan keris. Sialnya, tusukan si algojo kurang cermat, tak mengenai jantung terpidana. Tak pelak, dia pun mengulangi tusukannya sampai beberapa kali ke bagian dada. Terpidana pun jatuh terhumbalang ke tanah. Beberapa pengawal langsung melompat ke atas tubuh terpidana. Tujuannya, mempercepat keluarnya darah dari tubuh yang bisa memperingkas prosesi sakratul maut. Semua prosesi menyeramkan itu digelar di depan tiga terpidana lain yang menunggu giliran.


Bisa membayangkan, bukan, bagaimana perasaan tiga orang lainnya yang sedang “mengantre”? Prosesi hukuman mati di sebuah lokasi di Bali ini ditulis Prof J.E. Sahetapy (yang mengutip sebuah dokumen masa lalu berbahasa Belanda), dalam bukunya, Ancaman Hukuman Mati terhadap Pembunuhan Berencana.

Fragmen ini menunjukkan bagaimana sebetulnya masa silam bumi Nusantara ini punya koleksi cara hukuman mati yang jauh lebih menyeramkan ketimbang masa sekarang. Jenis hukuman mati ini diproduksi hukum lokal yang berlaku terbatas serta hukum VOC yang berlaku untuk keseluruhan wilayah jajahan. Jenis hukuman mati itu tak kalah menakutkan dibanding jenis-jenis hukuman mati di peradaban lain, seperti disalib, gantung, pancung kepala, dibakar, atau dirajam. Hukuman mati di masa kolonial, bisa dianggap seperti “seni tersendiri”, saking bervariasinya.

Di Aceh, misalnya, berlaku hukuman mati bagi iztri yang berzina. Sultan yang berkuasa bisa menjatuhkan lima jenis hukuman, termasuk hukuman mati. Caranya? Tinggal pilih: dilempar lembing sampai kepala ditumbuk di dalam lesung (sroh). Sementara di pedalaman Toraja, pelaku inses dipersilakan mengambil dua opsi hukuman: dicekik sampai mati atau dimasukkan ke dalam rotan yang diberi batu pemberat lalu dilempar ke laut.

Pada 1808, Gubernur Jenderal Daendels yang dikenal kejam itu mengintrodusir jenis hukuman mati ala Eropa, yaitu dibakar hidup-hidup dengan tubuh diikat di tiang. Melalui sebuah plakat tertanggal 22 April 1808, Daendels juga mengakomodasi sebuah tata cara hukuman mati lokal, yaitu dieksekusi dengan keris. Jenis hukuman inilah yang dialami empat laki-laki Bali tadi.

Tapi yang paling “dikenang” adalah cara eksekusi yang terjadi pada zaman Mataram. Serat Sekar Setaman, buku koleksi Museum Sanapustaka, Keraton Surakarta, melaporkan adanya hukuman yang paling ditakuti waktu itu, yaitu hukum picis. Hukum ini, berdasar catatan sejarah, juga sudah ada pada zaman Majapahit. Hukuman yang membuat terhukum mengalami rasa pedih tak terkira sebelum mati ini akhirnya dihapus pada tahun 1811 pada periode kekuasaan Paku Buwono IV.

Saat itu, hukuman kepada para criminal dijatuhkan dengan merujuk pada syariat Islam. Misalnya, ada hukuman potong tangan, potong kaki, potong jari, potong telinga, hingga hukuman mati. “Menu” hukuman mati ada dua: diadu dengan macan (mirip yang terjadi di Romawi) dan picis. Keduanya sama-sama digelar di alun-alun dan ditonton rakyat.

Nah, picis inilah yang paling bikin ngeri. Mau tahu caranya? Terhukum diikat di tonggak kayu atau pohon. Lalu tubuhnya disayat-sayat dengan pisau, dan lukanya diolesi air garam serta asam. Begitu terus sampai mati. Bayangkan betapa pedihnya. Terhukum akan berada dalam situasi di mana mati terasa lebih “melegakan” ketimbang hidup. Akhirnya, atas usul Gubernur Jenderal Raffles (saat Indonesia dijajah Inggris pada 1811-1816), hukum picis bersama hukuman yang bersifat potong-memotong tadi dihapus.

Hukum picis ini juga pernah dikenal di masyarakat pesisir Cirebon. Kompeni bahkan menggunakannya saat menginterogasi anak buah Jaka Sembung, seorang pangeran Cirebon yang termasyhur sebagai penentang Belanda.

Kepala Ditumbuk
Pernahkah Anda membayangkan hukuman mati seperti ini? Perut ditikam, dibelah, lantas diambil hatinya. Hati yang masih merah segar dan menggelepar-gelepar lalu dicincang, lalu dibagi-bagi untuk ditelan mentah-mentah. Setelah itu, kepala terhukum dipenggal, diinjak-injak, sebelum akhirnya ditumbuk sampai halus di lesung.
Anda boleh bergidik ngeri. Hiii…! Tapi itulah yang terjadi dengan pahlawan nasional kita, Trunojoyo. Setelah melalui kisah pemberontakan melawan Belanda yang diramu cerita pengkhianatan serta intrik-intrik politik yang sadis, nasib membawa Trunojoyo ke depan keris Raja Mataram Amangkurat II. Peristiwa ini direkam dengan detail oleh Raffles dalam buku klasiknya yang kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, The History of Java.

Di depan para adipati/bupati yang berkumpul di balairung, Amangkurat II menikam Trunojoyo dengan keris Kiai Balabar. Tusukan itu tepat di dada hingga menembus punggung. Darah pun muncrat. Perut Trunojoyo lalu dibelah dan diambil hatinya. Setelah dicincang, hati itu dibagikan kepada para bupati/adipati untuk ditelan mentah-mentah.

Selesai? Belum. Sebelum Amangkurat balairung, Amangkurat II menitahkan leher mayat Trunojoyo dipenggal, dan kepalanya diletakkan di balai peristirahatan. Semua selir diperintahkan menginjakkan kaki di atas kepala Trunojoyo sebelum masuk ke peraduan. Baru pada dini hari, kepala tersebut dimasukkan ke lesung untuk dihancurkan.
Hukuman mati yang menggegerkan terjadi sebelum itu. Karena masalah perempuan calon selir, Amangkurat I menghukum mati mertuanya sendiri, Pangeran Pekik.


Kisahnya berawal dari Pangeran Adupati Anom (Pangeran Tejaningrat, salah satu putra Amangkurat I) yang kesengsem pada Rara Hoyi, gadis pingitan dari Surabaya yang dibawa Adipati Surabaya, Pangeran Pekik (masih paman raja, suami Ratu Mas Wandansari, adik Sultan Agung). Sambil menunggu dewasa untuik dijadikan selir, Rara Hoyi dititipkan kepada Tumenggung Wirorejo.

Nah suatu hari. Pangeran Tejaningrat berkunjung ke rumah Tumenggung Wirorejo, dan melihat Rara Hoyi. Sang pangeran pun kasamaran. Ini didengar Ratu Wandansari. Atas persetujuan Pangeran Pekik, Rara Hoyi dibawa masuk ke keraton dan ditempatkan di Kesatriyan untuk mengobati sakit cinta sang Pangeran. Mereka menduga, sang ayah akan mengalah kepada anaknya.

Ternyata dugaan itu meleset. Amangkurat I murka. Kontan, Pangeran Pekik dan Tumenggung Wirorejo dihukum mati. Sementara Pangeran Tejaningrat baru diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Hoyi dengan tangannya sendiri. Sadisnya hukuman mati pada masa itu juga pernah dicatat Rijcklof Volkertz van Goens, pegawai VOC yang beberapa kali menjadi delegasi ke Kerajaan Mataram pada periode tahun 1649-1654. Van Goens menuliskan apa yang disaksikannya ke dalam buku catatan, yang pada tahun 1995 diterbitkan dengan judul Javaense Reyse: De Bezoeken van een VOC-Gezant aan het Hof van Mataram 1648-1654.

Selain mencatat keindahan alam Jawa waktu itu, Van Goens menulis pula tentang kejamnya sanksi hukum yang diterapkan kerajaan. Van Goens, sebagaimana dikutip dosen Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Sudibyo, dalam tulisannya, Sang Lain di Mata Ego Eropa: Citra Manusia Terjajah dalam Sastra Hindia-Belanda, menuliskan bagaimana Amangkurat I membunuh adiknya (Pangeran Alit) dan memerintahkan membunuh lima sampai enam ribu ulama pendukungnya karena menggugat keabsahan tahtanya.

Aksi itu dilakukan berdasarkan tengara dentuman meriam yang ditembakkan dari istana dan hanya berlangsung dalam waktu 30 menit. Sementara raja saat peristiwa itu terjadi menyingkir dari istana dikawal orang-orang kepercayaannya. Kemudian, raja memerintahkan orang-orang kepercayaannya menyeret beberapa ulama yang tidak turut terbunuh. Mereka disuruh mengaku mendalangi aksi tersebut. Karena berada di bawah ancaman, terpaksa mereka mengakui perbuatan yang tak pernah mereka lakukan. Atas perintah raja, orang-orang tidak bersalah ini beserta keluarganya dibunuh. Kejadian ini juga dicatat ahli sejarah Jawa, H.J. De Graaf, dalam bukunya, Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (1987).

Pada bagian lain, Vam Goens menulis, tanpa alasan tertentu raja menggunduli kepalanya. Hal ini diumumkan agar diikuti rakyatnya. Beberapa hari sesudah itu, pengawal berkeliling. Orang berusia di atas 16 tahun yang tidak menggunduli rambutnya akan segera diringkus dan dihukum dengan siksaan mengerikan. Pertama, kepalanya dikuliti dari atas telinga sampai batok kepalanya terlihat. Sebagian ada yang bertahan hidup, tetapi kebanyakan meninggal.

Siksaan jenis kedua lebih kejam. Si terhukum diikat kakinya dan digantung dengan posisi kepala di bawah. Di bawah, sudah menunggu ketel minyak mendidih. Kepala si pesakitan dicelup ke dalam minyak panas itu sebatas telinga, sampai rambut di kulit kepala mengelupas. Kebanyakan pesakitan ini meninggal. Jenis siksaan ketiga tak kalah menakutkannya. Pesakitan dipersilakan memakai topi besi tebal yang panas membara ke kepala sampai otaknya terbakar. Hiii, bagaimana, ya, rasanya?

[Sumber : kaskus.us]

Related Story

1 comment:

  1. Amangkurat Terkutuk, semoga tersiksa di kubur dan di akhiratnya.

    ReplyDelete