07 January 2011

Sunan Paku Buwana dan Syariat Islam

Sunan Paku Buwana IV dalam pandangan masyarakat Surakarta tidak saja dikenal sebagai pujangga yang mumpuni, tetapi juga dipercaya sebagai raja yang taat menjalankan ajaran agama islam. Ketaatan dalam menjalankan agama Islam, seperti tidak meninggalkan shalat lima waktu, shalat Jum’at, mengharamkan minuman keras dan candu, sudah terlihat semenjak muda dan masih berstatus sebagai Putra Mahkota. Kegemarannya dalam menimba ilmu agama dari kyai dan guru agama menjadikan dirinya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang luas tentang agama Islam.

Keluasan pengetahuan islam yang dimiliki oleh raja Surakarta ini dapat dilihat dari Serat-Serat piwulang karyanya, seperti Serat Wulang Reh, Wulang Dalem, dan Wulang Brata Sunu. Sebagian besar isi Serat Piwulung Sunan Paku Buwana IV disesuaikan dengan ajaran islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist. Bahkan tidak jarang dalam serat piwulang karyanya, dia mengutip langsung ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist demi memperkuat nasehat yang disampaikannya. Kegemaran Sunan Paku Buwana IV dalam mencari ilmu agama telah mempertemukannya dengan berbagai macam guru agama dan kyai. Ada kalanya kyai dan guru agama mempunyai pengaruh kuat terhadap raja Surakarta, sehingga tidak saja mempengaruhi sikap keagamaannya melainkan juga sikap politiknya. Peristiwa pakepung yang terjadi di awal pemerintahannya merupakan suatu bukti adanya pengaruh kyai dan guru agama terhadap sikap politik yang dijalankannya.

Peristiwa Pakepung
Peristiwa pakepung terjadi pada tahun 1790, ketika Sunan Paku Buwana IV baru dua tahun dinobatkan sebagai raja Surakarta. Peristiwa ini tidak saja mempunyai latar belakang politis yaitu adanya persaingan antara kerajaan-kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan. Kuatnya latar belakang keagamaan dalam peristiwa pakepung karena tokoh-tokoh utamanya yang menggerakkan kejadian ini mempunyai sikap dan semangat keagamaan yang tinggi, khususnya agama Islam. Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan keagamaan. H.J. de Graaf misalnya, menyebut peristiwa pakepung memiliki beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di tanah Arab.

Peristiwa pakepung meskipun hanya berlangsung dalam waktu singkat (Oktober-Desember 1790), namun kondisi-kondisi yang melatar belakanginya dapatlah dirunut hingga tahun-tahun sebelumnya. Peristiwa pakepung sebagaimana diceritakan dalam babad pakepung, berawal dari pengangkatan empat kyai dan santri, yaitu Kyai Wiradigda, Panengah, Bahman, dan Nur Saleh sebagai abdi dalem. Kyai ini mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan Sunan Paku Buwana IV, sehingga menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem terpercaya).

Pengaruh keempat abdi dalem kyai ini ternyata begitu besar pada Sunan, sehingga banyak keputusan-keputusan politik didasarkan pada nasehatnya. Sunan Paku Buwana IV kemudian mulai mengadakan perubahan - perubahan, seperti :
  1.  Abdi dalem yang tidak patuh pada syari’at agama ditindak, digeser dan bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami oleh Tumenggung Pringgalaya dan Tumenggung Mangkuyuda.
  2.  Sunan Paku Buana IV juga mengharamkan minuman keras dan opium, sebagaimana ajaran agama Islam. Disamping itu setiap hari Jum’at, Sunan ini pergi ke Masjid besar untuk melaksanakan Shalat Jum’at. Bahkan Sunan Paku Buwana IV sering bertindak sebagai Khatib atau pemberi kutbah pada shalat tersebut.
Peristiwa yang terjadi di keraton Surakarta ini dengan sendirinya menimbulkan kekhawatiran pihak Kumpeni dan Kasultanan Yogyakarta. Untuk memperoleh kejelasan tentang perubahan dan situasi yang ada di keraton Kasunanan Surakarta, Kumpeni kemudian mengirim utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s Noord-en Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve. Dari tanggal 16 September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya satu, yakni Sunan Surakarta harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa.

Setelah terjadi negosiasi, namun buntu akhirnya pasukan Kumpeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan Mangkunegaran, dan Pasisiran melakukan mengepung Keraton Surakarta dari segala penjuru. Di sebelah timur, pasukan pasisiran telah melakukan persiapan di desa Grompol, sedangkan pasukan Kumpeni telah siap di sebelah barat yaitu di Boyolali. Disebelah utara pasukan Mangkunegaran dan Kumpeni juga mempersiapkan diri di benteng masing-masing. Adapun pasukan Kasultanan Yogyakarta telah ditempatkan di Gondang untuk mengepung arah selatan.

Sunan Paku Buana IV melihat kuatnya pengepungan terhadap Keratonnya merasa gentar juga. Akhirnya atas bujukan dan usaha Kyai Yasadipura I, Sunan bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai biang keladi kekacauan. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem kepercayaan Sunan, maka pengepungan terhadap Keraton Surakarta dihentikan.

Apabila dilihat kembali latar belakang terjadinya peristiwa pakepung, maka tidak saja berkaitan dengan persoalan politik melainkan semangat keagamaan. Sumber Kolonial menyebut Wiradigda, Bahman, Kandhuruhan, Panengah dan Nur Saleh sebagai panepen yang berarti alim ulama. Sedangkan dari tradisional Jawa, seperti babad pakepung dan serat wicara keras menyebutnya dengan istilah abdi dalem santri. Di samping itu salah satu tuntutan Sunan Paku Buwana IV kepada Kumpeni juga bermuatan kepentingan agama karena menuntut semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang, dan daerah Pasisiran untuk tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta. Berdasarkan kenyataan ini sudah menunjukkan bahwa kebijakan politik Sunan pada waktu itu memang banyak dipengaruhi oleh gerakan keagamaan.

Sunan Paku Buwana IV ketika masih berstatus putra mahkota, sikap keagamaannya banyak terpengaruh oleh Wiryakusuma, seorang guru agama yang mempunyai kecenderungan anti Kumpeni. Wiryakusuma adalah putra R.M. Kreta yang dilahirkan dan dibesarkan di Cape Town, pada masa itu menjadi tempat pembuangan bagi tokoh-tokoh perjuangan yang menentang dominasi Kumpeni. Salah satu tokoh perjuangan yang dibuang ke Cape Town adalah Syaikh Yusuf al-Maqassari, seorang ulama besar sekaligus sebagai guru Tarekat Naqsabandiyah. Wiryakusumah yang hidup di komunitas orang-orang buangan dari nusantara mengenal dengan nama dan ajaran tokoh ini, meskipun Syaikh Yusuf sendiri telah meninggal dunia dan dimakamkan disana. Sikap keagamaan Wiryakusumah sendiri yang mengamalkan dzikir dan wirid, telah memperkuat adanya indikasi adanya pengaruh ajaran Tarekat Naqsyabandiyah dalam dirinya.

[Sumber : http://gusuwik.net78.net]

Related Story

No comments:

Post a Comment